Global Marketing Communication’s Weblog

Maret 21, 2008

Message Strategy of Sony Ericsson

Filed under: Studi Kasus Individu — nataliacarolina @ 7:36 am
Tags:

Dalam 8 langkah implementasi Integrated Global Marketing Communication, salah satu langkahnya adalah menyangkut message or incentive delivery. Terdapat tiga tipe pemasar yaitu Product-Driven Marketers, Distribution-Driven Marketers, dan Customers-Driven Marketers. Product-Driven Marketers memusatkan perhatiannya pada diferensiasi produknya terhadap produk lain. Distribution-Driven Marketers merupakan pendekatan semi-mass marketing, pemasar ingin memberitahukan kepada publik mengenai kesenangan dan keuntungan yang dapat diperoleh melalui produknya. Customers-Driven Marketers adalah pemasar yang mengutamakan harapan dan keinginan customer-nya, needs and wants-nya.

Nah, dalam penyampaian pesannya, tipe ini merumuskan pesan sesuai dengan metode pemasarannya itu sendiri, yaitu melihat customer lebih dahulu, dapat didasarkan menurut dua tipe pertimbangan, yaitu relevance dan receptivity. Relevance berarti menentukan apa yang dapat menjadi pesan yang relevan bagi customer. Sedangkan receptivity adalah elemen pertimbangan yang melihat kapan customer itu dapat menerima pesan yang pemasar beriklan. (dilihat dari sisi customer), bukan kapan waktu yang baik untuk memberikan pesan tersebut (dari sisi marketer).

Selain itu, beberapa hal yang dapat menjadi tolak ukur dari penerimaan marketing communication oleh customer adalah dari sisi product design, pricing, distribution, advertising, sales promotion, in-store displays, direct mail dan customer service.

Dalam kasus ini, implementasi IGMC Sony Ericsson akan dibahas dari segi penyampaian pesan, khususnya dalam periklanannya saja untuk tipe W910i, dan W908c. Di India, kebudayaannya sangat kental dengan tarian daerahnya. Semua film India, pasti bersyaratkan budaya India tersebut. Orang India sangat senng menari apalagi dengan ritme dan irama budaya mereka. Nah, kondisi seperti ini dilihat oleh pemasar SE sebagai kesempatan khusus untuk memesarakan Handphone tipe W910i. Iklannya dibentuk sesuai dengan budaya India. Bintang iklannya ditentukan ialah bintang Film India yang terkenal ganteng dan pandai menari. Ide cerita iklannya ialah menunjukkan kemampuan W910i untuk mengaplikasi ”shake” dalam pengoperasian walkman-nya untuk berpindah ke lagu berikutnya. Di iklan ini, sang bintang film bertemu dengan seorang perempuan kemudian menari dengan 3 tipe lagu yang berbeda, yaitu lagu India, lagu regge, dan kemudian lagu dansa modern. Dikisahkan bahwa setiap kali menguncang W910i, maka lagu akan berganti. Di sini, yang menarik adalah SE memperhatikan budaya India yang suka sekali menari ala India, jadi mereka mengunakan pendekatan itu dlam beriklan.

Sedangkan di Cina, iklan W908c dibuat dengan versi Cina yang berbeda. Orang Cina sedang gemar dengan lagu slow dan romantis. Kebanyakan lagu yang disukai adalah lagu yang romantis, dengan video clip yang ceritanya sedikit drama serial. Nah, SE menggunakan pendekatan ini dalam iklannya di Cina. Iklan W908c dibuat seperti video clip dengan penyanyi laki-laki yang terkenal di Cina, sedang memainkan piano dan sambil bernyanyi (lagu romantis dan sedikit sedih), ia menyalakan handphone tipe W908c miliknya dan meletakkannya di atas piano. Lalu, cerita dalam video clip dilanjutkan dengan munculnya seorang wanita yang sedang duduk sendiri menanti telepon dari sang kekasih. Cerita berlanjut ketika keduanya akhirnya melakukan panggilan telepon plus dengan melakukan video call. Nah, di sini menunjukkan kemampuan W908c dalam bidang 3G, video call. Dua pendekatan yang sangat berbeda bukan, antara India dan Cina? Namun itulah yang dilakukan SE, dan itu berhasil menarik perhatian. Keduanya menjadi pesan yang relevan bagi masing-masing target audience.

Maret 18, 2008

Black & white sandwich cookies…guess what?

Filed under: Studi Kasus Individu — zara15 @ 3:38 am


Case Study 6 : Who doesn’t love OREO ?

Siapa yang tidak kenal sandwich cookie satu ini. Bentuknya mudah diingat, bulat, hitam, dan terdapat krim ditengah-tengahnya. Barangkali hal ini juga yang menjadi asal usul namanya, ‘re’ merupakan potongan kata dari cream yang dihimpit dua cookies berbentuk ‘O’ menjadikannya Oreo (wikipedia). Oreo diproduksi oleh Nabisco sejak 1912. Nabisco yang ber-headquarter di East Hanover, New Jersey, merupakan subsidiary dari parent company Krafts Food.

Awalnya Oreo dibuat untuk pasar orang inggris (british) yang tersebar di Amerika maupun Eropa, karena biskuit mereka menurut Nabisco terlalu sederhana. Logo Nabisco yang bergambar elips horizontal yang diatasnya terdapat bentuk menyerupai antena diklaim oleh perusahaan sebagai simbol kualitas Eropa. Sementara di beberapa negara selain AS, logo ini seringkali diganti dengan logo Kraft Food. Sedangkan di Canada, logo Nabisco digantikan oleh brand Christie.

Dalam perkembangannya, Oreo menjadi brand yang sangat dekat dengan masyarakat. Karena rasanya yang enak, sejak kemunculannya banyak jenis makanan atau minuman yang mengandung Oreo sebagai bahan bakunya. Oreo dipakai untuk membuat menu baru bagi eskrim, milkshake, pancake, sampai pizza. Sehingga terciptalah menu-menu seperti Cookies ‘n Cream (New Zealand Ice Cream), Oreo cheese pancake (Pancious), dan Oreo Pizza (Domino’s Pizza). Kehadiran Oreo nampak memberi inovasi baru bagi industri makanan di dunia.

Agar selalu dekat dengan konsumen, Oreo menjalin brand relationship lewat hal yang disukai banyak orang seperti Film. Oreo mengeluarkan produk-produk temporal untuk mendukung kegiatan promosi film-film tertentu seperti Shrek, Hulk, dan X-men. Selain itu di beberapa tempat, Oreo juga membuat produk temporal dalam rangka Halloween, Natal, atau musim semi dengan mewarnai krim tengahnya dengan warna oranye, merah, dan kuning. Meski begitu, orang tetap mengidentikkan brand Oreo dengan warna hitam dan putih, warna original Oreo. Ini bisa menciptakan link antara Oreo – sandwich cookies – hitam pitih.

Oreo juga hits dengan slogan campaign “Twist, Lick, Dunk”-nya. Mungkin Anda ingat akan kata-kata “Diputar, dijilat, dicelupin!” yang muncul di iklan Oreo beberapa waktu lalu. Kampanye ini rupanya menciptakan semacam gaya memakan Oreo di masyarakat, dengan cara dicelupkan ke susu.

Dilihat dari beberapa program campaign-nya, Oreo membidik customer anak-anak dan remaja, dengan prospect keluraga. Terlihat baik dari penggunaan model iklan maupun tema promosi. Tahun 2008 ini, Oreo memulai program pemasarannya di AS dengan sebuah game bertajuk “Double Stuff racing League” (DSRL). DSRL diperkenalkan selama seminggu dalam rangka Super Bowl XLII, yang merupakan olah raga paling digemari di Amerika Serikat. Ini merupakan pertimbangan Oreo dalam marketplace measurement, dengan harapan mendapatkan return yang imbang dari customer dan prospect.

Dari sekian banyak yang dilakukan Oreo untuk tetap menjalin hubungannya dengan masyarakat, dengan 62.000 macam variasi di seluruh dunia, pantaslah bila penjualannya melebihi 490 miliar keping cookies di seluruh dunia. Hal ini menjadikannya ‘the best selling cookies of the 20th century’.

by : Zara Rimadhani 0905010948

Check it out :

www.wikipedia.com

www.nabiscoworld.com

Maret 17, 2008

Strategi Perubahan Identitas Korporasi HSBC

Filed under: Studi Kasus Individu — muthia05 @ 11:01 pm

Dalam program Komunikasi Pemasaran Terpadu atau yang biasa disebut dengan IMC (Integrated Marketing Communication), suatu corporate image dan corporate identity merupakan suatu strategi penting yang dapat memperkuat posisi suatu perusahaan, terutama yang bisnisnya bersifat global. Hal ini dikarenakan keduanya memiliki pengaruh yang secara tidak langsung dapat menimbulkan persepsi tertentu di benak konsumen. Jika kedua aspek ini dapat dikelola dengan baik maka suatu perusahaan akan dapat bertahan, atau bahkan berkembang, di pasar global yang memiliki tingkat persaingan yang tinggi.Bila berbicara mengenai corporate image, maka hal in tidak terlepas dari strategi penggunaan corporate identity yang tepat. Hal ini juga yang diusahakan oleh Hong Kong and Shanghai Banking Corporation (HSBC). Sebagai lembaga penyedia layanan keuangan yang sudah mendunia, HSBC dituntut untuk dapat memberikan yang terbaik, tidak hanya bagi customer-nya, tetapi juga bagi masyarakat dunia. Suatu corporate identity juga berfungsi sebagai suatu simbol yang turut mengkomunikasikan pesan mengenai organisasi tersebut. Maka tidak salah jika HSBC mengambil langkah besar untuk melakukan perubahan pada logonya di tahun 1998. Pada saat itu, logo yang digunakannya berubah menjadi bentuk heksagonal berwarna merah dengan garis diagonal bewarna putih yang membentuk gambaran jam pasir berwarna putih di tengah bentuk heksagonal tersebut. Serupa dengan bendera milik perusahaan Hong Kong yang dibuat pada abad ke 19, desain logo tersebut dibuat berdasarkan salib dari Saint Andrew. Logo itu sendiri didesain oleh Henry Steiner, yaitu seorang Desainer Grafis. (http://wikipedia.org)Dengan adanya perubahan logo tersebut, turut pula menjelaskan bahwa sejak saat itu seluruh cabang yang berada dalam grup HSBC Holdings akan berada dalam satu bendera dan logo HSBC yang baru tersebut. Hal ini berarti di mana pun cabang HSBC berada, maka yang akan kita lihat adalah logo berwarna merah dan putih tersebut. Berdasarkan teori IMC, strategi yang digunakan HSBC ini adalah strategi monolithic di mana terdapat penggunaan satu bentuk visual yang berlaku bagi seluruh bagian suatu korporasi. Hal ini bertujuan untuk memudahkan identitas korporasi ini dikenal di mana pun konsumen melihatnya. Bagi HSBC sendiri perubahan logo dan unifikasi identitas ini memiliki dampak tersendiri bagi kinerja mereka. Dengan adanya logo ini, mereka lebih termotivasi untuk meningkatkan pelayanan kepada konsumen. Hal ini dikarenakan identitasnya yang sudah mendunia, memungkinkan munculnya tuntutan dari konsumen terhadap pelayanan yang berkualitas dan lebih baik. Selain itu, dengan slogan barunya ”The World’s Local Bank”, HSBC juga dituntut untuk selalu memberikan pelayanan kelas dunia dengan tetap memperhatikan kebutuhan budaya lokal di masing-masing cabang. Adanya bentuk corporate identity yang baru, juga turut memunculkan image yang baru di mata masyarakat dunia. Semakin besar suatu perusahaan maka akan semakin besar pula tanggung jawabnya terhadap masyarakat dunia. Salah satu bentuk penguatan image dari identitas barunya itu ialah bahwa HSBC turut pula mengadakan kerja sama dalam bentuk sponsorship dalam bidang olah raga. Hal ini merupakan suatu bentuk kepedulian HSBC terhadap masyarakat dunia yang diwujudkan dalam peningkatan kepedulian terhadap perkembangan di bidang kesehatan dan hiburan melalui sponsorship kepada berbagai kejuaraan balap mobil, hockey, sepak bola, dan lain-lain. Tidak hanya itu, HSBC juga mendirikan yayasan sosial yang setiap tahunnya memberikan beasiswa di bidang pendidikan, kesehatan dan lingkungan. Rupanya, perubahan identitas tidak hanya berkutat di seputar bentuk fisik logo maupun slogan, tetapi lebih kepada penguatan image dan tanggung jawab yang juga semakin besar kepada masyrakat dunia.   MUTHIA AMALIA0905010565

Bunga, Bintang, dan Inisial LV

Filed under: Studi Kasus Individu — muthia05 @ 11:00 pm

Bunga, Bintang dan Inisial LV 

Salah satu tahapan dalam Integrated Global Marketing Communication ( IGMC ) adalah pembentukan brand relationship. Seperti yang kita tahu bahwa dalam program komunikasi pemasaran, brand merupakan sesuatu yang berharga, khususnya bagi perusahaan, untuk dapat mengembangkan bisnisnya di pasar global. Hal ini karena secara tidak langsung brand turut ambil bagian dalam mengembangkan suatu hubungan (relationship) antara perusahaan dengan customer maupun prospeknya. Setiap customer memiliki gambaran tersendiri terhadap suatu brand. Hal inilah yang harus digali dengan baik oleh perusahaan agar dapat tetap mempertahankan posisinya di tengah persaingan yang ketat.

Hal inilah yang berusaha dilakukan oleh berbagai perusahaan multinasional ternama seperti Unilever, McDonalds, Toyota, Nike dan masih banyak lagi. Di bidang fashion, beberapa nama juga turut menganut pola yang serupa dengan cara memfokuskan pada pengembangan brand sebagai pernyataan diri dan pembangun hubungan dengan konsumen. Salah satu nama yang sudah sangat akrab, terutama di kalangan penggemar fashion adalah Louis Vuitton.Louis Vuitton adalah seorang perancang Perancis yang paling terkenal dengan barang-barang berbahan kulit yang dijualnya. Barang-barang tersebut dijual dengan merek yang sama dengan namanya. Vuitton mulai memproduksi bagasi di Paris pada tahun 1854, dan sejak saat itu perusahaannya menjadi pembuat barang-barang mewah yang terkenal. Vuitton meninggal pada tanggal 27 Februari 1982, namun tas Vuitton dan leathergoods (produk kulit) buatan perusahaannya masih adalah tanda kebesaran di seluruh dunia. Nama Louis Vuitton sendiri banyak diasumsikan sebagai barang atau tas yang dibuat dari bahan yang berkualitas tinggi. Sedangkan bahan yang digunakan adalah bahan sederhana namun hasilnya adalah barang yang mewah, dan itu membuat Louis Vuitton selalu menjadi trendsetter. Louis Vuitton selalu menggembangkan ide-ide untuk menciptakan produk-produk yang mewah. Karena hanya itu yang bisa menjadi nilai jual sebuah merek. Untuk menghindari peniruan, George Vuitton, putra Louis Vuitton, membayangkan sebuah image yang tidak bisa terpisah dari merek Louis Vuitton. Tahun 1896, dia menggambar bulatan berisi bunga berkelopak empat warna negatif. Lalu,  bintang bersudut empat warna positif dan negatif. Untuk menghormati sang ayah, George menambahkan inisial LV di antara bulatan bunga dan bintang tadi.  Lahirlah sebuah komposisi yang kemudian disebut Monogram dan menjadi ikon Louis Vuitton. Monogram itu lalu mengilhami berbagai merek ternama di dunia dengan  memakai logo sebagai motif dekoratif dan penanda identitas pada produk mereka. Tahun 1997, monogram berubah muda dan baru. Dimulai dari memoles monogram klasik paduan ekru dan kopi menjadi monogram vernis dalam warna pastel berkilau.Langkah ini merupakan salah satu bentuk inovasi dari Louis Vuitton untuk dapat tetap mempertahankan citranya sebagai produk yang bergengsi di benak customernya. Dengan inovasi, sebuah brand membuat calon pembeli jatuh cinta. Setelah itu, citra brand akan menancapkan cinta dengan kuat di hati pembeli, sehingga pembeli tak akan pindah ke lain hati. Selain itu, dalam sejarah berdirinya brand ini hingga sekarang, tak pernah sekalipun salah satu butiknya mengadakan sale atau obral. Ini menguatkan citra Louis Vuitton sebagai wujud investasi dan kemewahan. Prinsip mereka, kemewahan tidak diobral. Citra inilah yang menyebabkan Louis Vuitton tak pernah turun pamor dalam dunia fashion disamping kualitas produk fashion dan asesorinya yang brilian.                                

MUTHIA AMALIA

0905010565 

Dove—for Your Real Beauty Around the Globe! (part 2)

Filed under: Studi Kasus Individu — anindhityasasti @ 7:25 pm

Seperti yang sudah dibahas sebelumnya, Dove adalah salah satu produk yang terjual paling banyak di dunia dalam produk kesehatan kulit yang hadir untuk wanita yang menyadari bahwa kecantikan datang dengan bayak bentuk dan ukuran tanpa peduli pada dunia yang penuh dengan stereotype dan kebohongan ini. Pencapaian demi pencapaian telah diraih oleh brand yang lahir pada tahun 1957 ini. Berawal dari sabun batangan, kini produknya merambah sabun mandi, sabun cair, deodoran, sampo, body lotion, pembersih muka, kondisioner, dll dengan penjualan lebih dari 2,5 miliar Euro setahun di 80 negara di mana Dove dipasarkan. Setelah berpijak kuat pada sembilan kunci untuk mengembangkan integrated global marketing communication-nya, Dove rupanya juga piawai dalam langkah-langkah menapaki IGMC.Dove adalah brand yang sangat peduli dan berusaha dekat dengan konsumennya. Dove ingin menjadi sahabat, bukan hanya sebagai produk yang dibeli dan melihat konsumen sebagai profit. Database konsumennya sangatlah penting bagi Dove dan Dove tahu persis siapa konsumennya, seperti apa mereka, apa yang mereka sukai, berapa penghasilan mereka, seperti apa gaya hidupnya, dll. Dari database yang akurat tersebut, Dove mampu menentukan contact points (bagaimana cara-cara konsumen kontak dengan brand) dan memahami contact preference konsumen (cara-cara yang dipilih konsumen untuk kontak dengan Dove) yaitu dengan iklan, artikel tentang Dove, personal experience (below the line), word of mouth, event, melalui logo Dove di manapun, dll.Brand adalah salah satu aset paling berharga yang bisa dikontrol perusahaan. Brand Dove harus punya nilai yang kuat yang membuat konsumen ingat pada brand tersebut. Dove sebagai produk yang peduli pada wanita dan menghargai mereka apa adanya serta mengajarkan bahwa setiap wanita itu cantik tanpa peduli stereotype telah menanamkan nilai positif itu di benak konsumennya. Hal ini memberikan nilai yang baik pula pada brand Dove. Dengan simbol merpati Dove dan warna putih-biru khas Dove, ini juga merupakan nilai yang melekat pada Dove yang menguatkan brand Dove sebagai produk perawatan diri yang peduli pada konsumennya, para wanita—yang semuanya cantik.Pesan yang dipilih Dove rata-rata berisi pesan yang positif, membangkitkan rasa percaya diri kaum perempuan, dan selalu menyayangi diri. Iklan dan kampanye Dove selalu menekankan bahwa semua perempuan itu cantik dan sudah kewajiban perempuan untuk merawat kecantikan itu. Pesan Dove adalah menjadi diri sendiri yang unik. Media yang dipilih pun yang women-friendly, yang dirasa dapat menyampaikan maksud dan pesan Dove dengan maksimal kepada konsumennya.Dove mengalokasikan dana yang cukup besar untuk beriklan dan merealisasikan contact points-nya. Dengan dana yang cukup besar untuk melakukan “kontak” dengan konsumennya ini, diharapkan konsumen Dove akan merasa dekat dengan Dove, dan terus membeli Dove. Dengan demikian, dana yang dikeluarkan Dove sebenarnya bertujuan agar Dove mendapat lebih banyak profit dari penjualan produk dan tentu saja sambil tetap menjaga brand awareness dan brand loyalty.Sheer moist for your whole body, everyday. Let’s celebrate your beauty, Dove way!

Maret 11, 2008

Integrated Global Marketing Communication : Mc Donald

Filed under: Studi Kasus Individu — nurinanina @ 4:16 pm

Nurina D. A

Integrated Global Marketing Communication : Mc Donald

Ada 8 langkah (step) dalam proses perencanaan Integrated Global Marketing Communication. Namun, tidak semua langkah tersebut akan dibahas dalam respon paper ini, hanya 2 dari 8 yang akan dicoba untuk dibahas. Keduanya adalah Customer / Prospect Valuation dan Marketplace Measurement.

Yang dimaksud sebagai Customer / Prospect Valuation adalah bagaimana perusahaan dalam menginvestasikan sumber dayanya mempertimbangkan prospek customernya, mana customer yang tepat atau terbaik untuk dibidik. Secara keseluruhan, perusahaan tidak menganggap bahwa cost atau biaya yang terjadi pengeluaran atau expense, melainkan investasi. Kita menganggap ada “Income Flow” dari customer ke produsen, dimana Income Flow ini harus terus menerus dijaga kesinambungannya. Jadi, ada financial value dalam menentukan customer serta dalam men-desain produk yang sesuai dengan customer.

Sedangkan yang dimaksud dengan Marketplace Measurement adalah kemampuan perusahaan untuk menentukan tempat / pasar (market) yang tepat untuk produknya agar senantiasa dapat terjangkau oleh customernya. Sehingga nantinya perusahaan bisa memperoleh return (imbal hasil) atas investasinya kembali dalam jangka waktu yang telah direncanakan sebelumnya. Jadi ada dimensi waktu, customer, investasi dan messages (pesan) suatu produk yang perlu diikutsertakan dalam penentuan marketplace ini.

Untuk menjelaskan keduanya, diambil contoh perusahaan multinasional yaitu McDonald. Mc Donald sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di industri makanan siap saji telah mampu membidik pasarnya secara tepat dengan berbasis pada customernya. Hal ini terlihat dari, ketika pertama kali Mc Donald masuk ke Indonesia, Mc Donald belum melakukan inovasi atas produknya.

Mc Donald masuk ke Indonesia pertama kali sebagai perusahaan burger dan kentang, belum melakukan pengembangan atau differensiasi produk. Sedangkan pada saat itu, pesaing yang ada yang telah lebih dahulu menguasai pasar seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Texas Fried Chicken (Texas), dan California Fried Chicken (CFC), sudah memiliki konsumen royal masing-masing dan seperti sulit ditembus oleh pemain baru seperti Mc Donald.

Mc Donald pertama-tama masih mengandalkan burger dan kentang sebagai menu utama ang menjadi ciri khasnya sebagai restoran siap saji. Dapat dikatakan bahwa konsumen Mc Donald pada saat itu hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Dalam artian kalangan tersebut adalah mereka yang menyukai / terbiasa menyantap burger dan kentang sebagai makanan sehari-hari. Menyadari bahwa segmen pasarnya terbatas, Mc Donald akhirnya memutuskan untuk melakukan inovasi atas produk yang sesuai dengan need customernya[1].

Inovasi produknya yaitu berupa tersedianya ayam goreng (fried chicken) sebagai salah satu menu utama di restoran tersebut, yang kemudian diikuti dengan kehadiran nasi. Keduanya dipilih dengan alasan bahwa orang Indonesia menyukai ayam goreng tepung sebagai salah satu makanan yang cukup lama dikenal oleh masyarakat selama bertahun-tahun. Sedangkan nasi dipilih karena merupakan makanan pokok orang Indonesia[2]. Dengan langkah tersebut, Mc Donald justru meraih pasar yang selama ini dikuasai pesaingnya, karena ketepatannya membaca situasi pasar dan mengetahui apa yang menjadi keinginan paling utama dari customernya.

Dengan didukung elemen promosi seperti TV-ad, iklan radio, dan print-ad, lagkah Mc Donald tersebut bertahan sampai sekarang. Dilihat dari kasus Mc Donald di atas, mengacu pada pembahasan pada paragraf sebelum ini, tindakan Mc Donald ini bisa dikategorikan sebagai Prospect Valuation disertai dengan Marketplace Measurement.


[1] www.google.com, “Asal Mula Mc Donald”, diakses tanggal 7 Maret 2008 pukul 21.00 WIB.

[2] www.google.com, “Sejarah Mc Donald dan Perkembangannya Kini”, diakses tanggal 8 Maret pukul 16.00 WIB.

Integrated Global Marketing Communication : Mc Donald

Ada 8 langkah (step) dalam proses perencanaan Integrated Global Marketing Communication. Namun, tidak semua langkah tersebut akan dibahas dalam respon paper ini, hanya 2 dari 8 yang akan dicoba untuk dibahas. Keduanya adalah Customer / Prospect Valuation dan Marketplace Measurement.

Yang dimaksud sebagai Customer / Prospect Valuation adalah bagaimana perusahaan dalam menginvestasikan sumber dayanya mempertimbangkan prospek customernya, mana customer yang tepat atau terbaik untuk dibidik. Secara keseluruhan, perusahaan tidak menganggap bahwa cost atau biaya yang terjadi pengeluaran atau expense, melainkan investasi. Kita menganggap ada “Income Flow” dari customer ke produsen, dimana Income Flow ini harus terus menerus dijaga kesinambungannya. Jadi, ada financial value dalam menentukan customer serta dalam men-desain produk yang sesuai dengan customer.

Sedangkan yang dimaksud dengan Marketplace Measurement adalah kemampuan perusahaan untuk menentukan tempat / pasar (market) yang tepat untuk produknya agar senantiasa dapat terjangkau oleh customernya. Sehingga nantinya perusahaan bisa memperoleh return (imbal hasil) atas investasinya kembali dalam jangka waktu yang telah direncanakan sebelumnya. Jadi ada dimensi waktu, customer, investasi dan messages (pesan) suatu produk yang perlu diikutsertakan dalam penentuan marketplace ini.

Untuk menjelaskan keduanya, diambil contoh perusahaan multinasional yaitu McDonald. Mc Donald sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di industri makanan siap saji telah mampu membidik pasarnya secara tepat dengan berbasis pada customernya. Hal ini terlihat dari, ketika pertama kali Mc Donald masuk ke Indonesia, Mc Donald belum melakukan inovasi atas produknya.

Mc Donald masuk ke Indonesia pertama kali sebagai perusahaan burger dan kentang, belum melakukan pengembangan atau differensiasi produk. Sedangkan pada saat itu, pesaing yang ada yang telah lebih dahulu menguasai pasar seperti Kentucky Fried Chicken (KFC), Texas Fried Chicken (Texas), dan California Fried Chicken (CFC), sudah memiliki konsumen royal masing-masing dan seperti sulit ditembus oleh pemain baru seperti Mc Donald.

Mc Donald pertama-tama masih mengandalkan burger dan kentang sebagai menu utama ang menjadi ciri khasnya sebagai restoran siap saji. Dapat dikatakan bahwa konsumen Mc Donald pada saat itu hanya terbatas pada kalangan tertentu saja. Dalam artian kalangan tersebut adalah mereka yang menyukai / terbiasa menyantap burger dan kentang sebagai makanan sehari-hari. Menyadari bahwa segmen pasarnya terbatas, Mc Donald akhirnya memutuskan untuk melakukan inovasi atas produk yang sesuai dengan need customernya[1].

Inovasi produknya yaitu berupa tersedianya ayam goreng (fried chicken) sebagai salah satu menu utama di restoran tersebut, yang kemudian diikuti dengan kehadiran nasi. Keduanya dipilih dengan alasan bahwa orang Indonesia menyukai ayam goreng tepung sebagai salah satu makanan yang cukup lama dikenal oleh masyarakat selama bertahun-tahun. Sedangkan nasi dipilih karena merupakan makanan pokok orang Indonesia[2]. Dengan langkah tersebut, Mc Donald justru meraih pasar yang selama ini dikuasai pesaingnya, karena ketepatannya membaca situasi pasar dan mengetahui apa yang menjadi keinginan paling utama dari customernya.

Dengan didukung elemen promosi seperti TV-ad, iklan radio, dan print-ad, lagkah Mc Donald tersebut bertahan sampai sekarang. Dilihat dari kasus Mc Donald di atas, mengacu pada pembahasan pada paragraf sebelum ini, tindakan Mc Donald ini bisa dikategorikan sebagai Prospect Valuation disertai dengan Marketplace Measurement.


[1] www.google.com, “Asal Mula Mc Donald”, diakses tanggal 7 Maret 2008 pukul 21.00 WIB.

[2] www.google.com, “Sejarah Mc Donald dan Perkembangannya Kini”, diakses tanggal 8 Maret pukul 16.00 WIB.

Sprite, all about Youth and Thirst !

Filed under: Studi Kasus Individu — zara15 @ 9:02 am
Tags: ,

Check this out Guys!! Thanx…

Sprite, all about Youth and Thirst !

Maret 10, 2008

Dove—for Your Real Beauty Around the Globe!

Filed under: Studi Kasus Individu — anindhityasasti @ 9:16 pm

Di dunia penuh stereotype dan kebohongan, Dove hadir untuk wanita yang menyadari bahwa kecantikan datang dengan bayak bentuk dan ukuran. Dove, salah satu produk yang terjual paling banyak di dunia dalam produk kesehatan kulit, memulai usahanya pada tahun 1957 dan telah mendapatkan simpati dan kepercayaan dari ribuan konsumennya di seluruh dunia. Dove memulai usahanya sebagai sabun batangan yang telah terbukti secara klinis lebih lembut untuk kulit kering dan sensitif dibanding sabun lainnya. Keunikan produk ini, memiliki moisturizer sebanyak seperempat dari keseluruhan kandungannya! Kini, Dove telah memiliki berbagai varian untuk perawatan diri seperti sabun mandi, sabun cair, deodoran, sampo, body lotion, pembersih muka, kondisioner, dll. Dove juga telah mencapai penjualan lebih dari 2,5 miliar Euro setahun di 80 negara di mana Dove dipasarkan. Pencapaian yang bisa dibilang sukses ini tidak lepas dari kepiawaian Dove menguasai sembilan kunci untuk mengembangkan global integrated marketing communication.Sebuah produk harus bisa mempertahankan proses dan standar secara global. Maksudnya, produk yang dijual di suatu negara harus sama standarnya dengan yang dijual di negara lain, bila tidak berarti produk itu belum siap dipasarkan secara global. Dove sebagai sebuah produk yang sudah dipasarkan di lebih dari 80 negara berhasil membuat standar yang sama di setiap negara. Setiap sabun batangan yang dijual di pasaran memiliki kandungan yang sama, kelembutan yang sama, wangi yang sama, moisturizer yang sama dengan yang dijual di Amerika. Walau sabun batangan Dove melewati beberapa penyesuaian di beberapa negara (dibuat tidak terlalu lembek dan licin di Asia Tenggara karena tuntutan pasar) namun hal itu tidak mengurangi maupun merubah kandungan sabun dan sabun itu tetaplah Dove dengan standar yang sama.Perusahaan di balik produk (dalam hal ini Unilever) juga harus bisa mengatur banyak sistem—beragam basar, pelanggan, channel, media, dll dari berbagai negara. Di manapun produk dipasarkan dan perubahan apapun yang dibuat untuk penyesuaian, konsep Dove tetaplah sama, sebagai produk perawatan diri untuk wanita yang menyadari kecantikan itu milik semua wanita tanpa peduli stereotype yang ada saat ini. Konsep itu menjadi benang penghubung setiap produk Dove di pasar internasional dan menjadi cara bagaimana perusahaan bisa berkomunikasi dengan konsumennya dan mengatur beragam basar, pelanggan, channel, media, dll.Brand sangatlah penting di mata konsumen—bukan karena usaha yang terencana sebagai organisasi pemasaran, namun karena produk dan nama produk mengantarkan nilai yang baik kepada mereka yang membeli produk itu. Dove sebagai produk yang peduli pada wanita dan menghargai mereka apa adanya serta mengajarkan bahwa setiap wanita itu cantik tanpa peduli stereotype telah menanamkan nilai positif itu di benak konsumennya. Hal ini memberikan nilai yang baik pula pada brand Dove. Dengan simbol merpati Dove dan warna putih-biru khas Dove, ini juga merupakan nilai yang melekat pada Dove yang menguatkan brand Dove sebagai produk perawatan diri yang peduli pada konsumennya, para wanita—yang semuanya cantik.So, all women around the globe, celebrate your beauty—Dove way! 

Maret 4, 2008

Walls, More Ice Cream More Happy

Filed under: Studi Kasus Individu — zara15 @ 5:13 am
Tags:

Zara Rimadhani 0905010948

Dibawahi oleh PT Unilever selaku parent company, Walls adalah brand dengan corporate identity ‘endorsed’ dengan style tersendiri, yaitu spesialis es krim di seluruh dunia. Namun tetap tidak jauh dari corporate image Unilever yaitu membuat orang ‘feel good, look godd, and more out of life’. Walls telah memasuki Indonesia sejak 1992. Dengan 13 brand serta 40 varian rasa, Walls telah menjadi pilihan untuk es krim nomor satu di Indonesia, menggebrak pasar es krim yang saat itu sedang dikuasai Campina, Peters, Diamond, dll. Market share Walls di Indonesia kini mencapai 40 %. Apa saja yang dilakukan Walls?

Walls selalu melakukan inovasi terhadap produk-produknya baik yang In Home maupun Out of Home agar memuaskan konsumen dari segmen tertentu yang sesuai. Produk In Home seperti Vienetta, Moo, dsb, sedangkan Out of Home seperti Conello dan Paddle Pop.

Terinspirasi dari kutipan Schultz dan Kitchen dalam bukunya “Communicating Globally” bahwa suksesnya sebuah komunikasi pemasaran bergantung pada membangun dan mempertahankan brand loyalty, Walls bisa dikatakan cukup peduli dengan prinsip pokok ini. Walls menjalankan trend komunikasi global dengan memadukan alat-alat komunikasi pemasaran yang tergabung dalam IMC. Seperti memasang iklan di televisi, radio, majalah, dan melakukan sales promotion, events, direct marketing, dll untuk menancapkan brand-nya di benak konsumen.

Salah satu campaign barunya adalah ‘Berbagi 1000 kebaikan’ dengan Vienetta. Dilatari fakta bahwa Human Developmetn Index (HDI) Indonesia tahun 2006 hanya 0,800 yang berarti bahwa Indonesia belum dapat digolongkan sebagai developed nations, Walls mencoba menunjukkan kepeduliannya kepada pendidikan anak di Indonesia yang masih tergolong rendah. Dengan program ‘Berbagi 1000 kebaikan’ ini, Walls ingin meningkatkan kualitas pendidikan anak Indonesia sekaligus memperkenalkan varian baru Vienetta rasa kurma.

Aktivitas lainnya adalah event yang diselenggarakan Walls untuk memperkenalkan varian-varian baru Conello, yang pada tingkat global lebih dikenal dengan nama Cornetto. Campaign bertema “Two Becomes One” ini mengarah pada segmen remaja umur belasan tahun dengan tujuan membawa nilai-nilai persatuan dari adanya banyak perbedaan yang timbul di dunia mereka. Campaign ini dilengkapi event launching varian baru Conello Royale, lomba atau quiz di radio, dan 2 orang brand ambassador dari Indonesia (Gita Gutawa) dan Malaysia (Gadaffi B. Ismail Sabri).

Elemen IMC lainnya, interactive marketing, juga dipakai Walls menyadari kebutuhan akan internet kian meningkat khususnya di kalangan generasi muda, dengan menggarap website brand Conello dengan tajuk www.icecreamoflove.com yang ditujukan pada remaja. Di dalamnya, konsumen dapat mengakses berita, tips, atau menjadi komunitas situs. Selain itu konsumen juga dapat mengakses wallsconello@yahoo.com di friendster.

Berjalannya konsep komunikasi pemasaran terpadu global pada Walls adalah bukan tanpa fondasi yang kuat. Unilever begitu juga Walls telah mengadakan riset, survey, atau consumer insight terlebih dahulu dalam rangka menentukan aktivitas pemasaran ke depannya. Salah satunya dengan mengumpulkan data rendahnya pendidikan di Indonesia, sehingga mereka dapat menggelar kampanye ‘Berbagi 1000 kebaikan’. Adapun dengan berpijak pada survey oleh University of Amsterdam yang menemukan bahwa es krim dapat membuat kita senang, Walls berani meluncurkan dua varian rasa Conello Royale yaitu Sweetheart Brownies dan Almod Praline in Love dengan harapan tercipta brand image ‘happy’ pada Walls karena lebih banyak remaja akan merasa senang dan menikmati hari-hari mereka.

The Body Shop’s Moisture Marketing

Filed under: Studi Kasus Individu — zara15 @ 4:36 am

The Body Shop’s Moisture Marketing

Laman Berikutnya »

Buat situs web atau blog gratis di WordPress.com.